Dakwah kultural menjadi strategi yang tidak terelakkan dan memiliki penajaman makna. Dakwah kultural tidak hanya berperan untuk mengalih- wahanakan konten-konten keagamaan yang berwatak formal, doktrinal, dan ekslusif menjadi informal, persuasif, dan inklusif. Lebih dari itu, dakwah kultural adalah cara untuk membentuk ulang infrastruktur komunikasi konten keagamaan Muhammadiyah terhadap profil masyarakat baru.
Adib Sofia Wakil Ketua Majelis Tabligh dan Ketarjihan PP ‘Aisyiyah mengatakan bahwa basis teologi dan historis dakwah kultural secara kognisi sudah tertanamkan di dalam Muhammadiyah. Bahkan dakwah kultural telah menjadi jihad dalam berdakwah.
Secara historis, Adib menjelaskan bahwa dakwah kultural diperkenalkan oleh Prof. Baroroh Baried yang merupakan Ketua PP Aisyiyah periode 1965-1985 dalam Sidang Konferensi Islam Asia Afrika tahun 1965. Menurut Baroroh, umat Islam perlu mengkaji kebudayaan yang berkepribadian Indonesia dan cocok dengan ajaran Islam.
Lebih lanjut dituliskannya, “Semua yang dapat dihasilkan oleh bangsa Indonesia dalam bidang kebudayaan tentu dapat dihasilkan oleh umat Islam di Indonesia. Semua hasil itu dapat disesuaikan dengan ajaran-ajaran Islam, misalnya dalam bidang seni drama, seni sastra, seni suara, seni lukis, seni pahat, seni tari, dan lain-lain.”
Mengutip pemikiran Prof Baroroh, Adib menjelaskan tiga syarat pengembangan kebudayaan, yang pertama adalah memahami teks utama keislaman, yakni harus mempunyai kemampuan memahami Al-Quran dan hadis, dari bahasanya hingga pada kemampuannya menjelaskan isinya.
Kedua komunikasi, harus mempunyai kemampuan komunikasi dalam menyampaikan prinsip Islam kepada masyarakat, diseminasi kebudayaan Islam yang keterhubungan dengan muslim di seluruh dunia.
Dan yang ketiga adalah kesesuaian zaman. Harus mempunyai kemampuan mendesain dakwah kebudayaan sesuai dengan kebutuhan zaman. Prof. Baroroh juga mengungkapkan bahwa dakwah kultural merupakan tugas raksasa.
“Prof Baroroh menegaskan bahwa untuk mencapai dakwah Islam yang sebaik-baiknya, menurutnya, harus ada wadah untuk menampung seluruh potensi umat Islam yang mempunyai keahlian dan berminat dalam kebudayaan,”jelas Adib dalam Pengajian Ramadan 1445 H Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada Jumat (15/3).
Selain itu, menurut Baroroh, dakwah kultural dapat mencerminkan kesatuan umat Islam Indonesia. Wadah ini sangat penting untuk bekerja sesuai dengan perencanaan yang oleh Baroroh disebut sebagai planmatig. Dengan planmatig orang-orang dalam wadah tersebut dapat bekerja dengan mengurutkan mana yang lebih dahulu dapat dilaksanakan dengan mempertimbangkan kemampuan biaya, perlengkapan, tenaga, dan sebagainya.
“Baroroh yakin apabila wadah ini sudah dapat dirasakan manfaatnya oleh rakyat Indonesia pada umumnya dan umat Islam Indonesia pada khususnya, mereka tidak akan segan-segan mengulurkan bantuannya untuk membiayai jalan kelangsungan dakwah kebudayaan,”jelas Adib.
Terakhir, Adib menilai relevansi dakwah kultural di era disrupsi masih menjadi Pekerjaan Rumah (PR) bagi Muhammadiyah. Untuk mewujudkan dakwah kultural kita (Muhammadiyah) jangan pernah merasa besar, karena ketika merasa besar maka tidak akan melakukan survei yang berkelanjutan sesuai dengan minat audiens.
“Dalam mengkonsep dan menentukan dakwah kultural kita harus memulai dari respon masyarakat. Goalsnya adalah identitas kultur Muhammadiyah dimiliki oleh warganya dan merasuk dalam kehidupan masyarakat,”ujar Adib.
* Sumber Tulisan: muhammadiyah.or.id
Discussion about this post