Dr Hempri Suyatna mengaku tidak bisa memahami sepenuhnya skema dana penelitian yang harus diikutinya. Sebagai ilmuwan, ujarnya, dia kadang-kadang justru sibuk mengurus Surat Pertanggungjawaban (SPJ) untuk program penelitian, daripada menyusun laporan hasil penelitian itu sendiri.
“Kadang menjengkelkan. Urusan-urusan SPJ ini memakan waktu dan menghilangkan substansi penelitian itu sendiri,” ujarnya kepada VOA.
Dosen sekaligus peneliti dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) UGM, Yogyakarta, ini membedakan dua sumber dana penelitian yang diterima. Skema dari universitas atau fakultas dan skema pemerintah pusat melalui Kemenristek Dikti. Skema universitas muncul untuk mendorong dosen melakukan lebih banyak penelitian dengan aturan pertanggung jawaban dana yang lebih sederhana. Sebaliknya, skema dari pusat sangat rumit, dan inilah yang mengundang keprihatinannya.
“Terutama riset dari Dikti, kadangkala duitnya tidak seberapa tetapi prosedur keuangannya lebih rumit, dan meminta output yang lebih tinggi, misalnya ke jurnal nasional atau internasional. Padahal, secara budget tidak begitu banyak. Kadang juga duit belum cair, Surat Pertanggungjawaban sudah harus 100 persen selesai. Aturannya terlalu kaku menurut saya,” kata Hempri Suyatna.
Hempri mendesak pemerintah segera mengambil solusi untuk mendorong dosen lebih banyak menulis. Pertama adalah menyederhanakan laporan keuangan penelitian, dan kedua memperbesar alokasinya.
*Tulisan Selengkapnya Bisa Dibaca di: voaindonesia.com
Discussion about this post