Ketika pada tahun 2005 novel Laskar Pelangi karangan Andrea Hirata dipublikasikan untuk pertama kali, beberapa pihak dibuat terkejut dengan fakta imajiner dalam karya sastra yang memuat masalah ke- miskinan di Pulau Belitung. Cara para tokoh dalam novel itu untuk terus eksis dalam hidupnya dan keluar dari jerat kemiskinan di Belitung dipandang sangat inspiratif sehingga tidak mengherankan jika pada 2007 dan 2008, novel tersebut menjadi booming. Andrea Hirata sebagai orang yang mengolah masa lalunya di Belitung menjadi sebuah karya sastra itu pun menjadi sosok yang terkenal, baik di tingkat nasional maupun internasional. Beberapa tahun kemudian, novel itu bahkan diadaptasikan dalam bentuk film dan drama. Hingga saat ini, peng- hargaan dari dalam dan luar negeri atas karyanya yang dipandang memotivasi orang untuk maju sudah tidak terhitung jumlahnya.
Meskipun Laskar Pelangi merupakan karya sastra yang sudah barang tentu bersifat imajinatif, tetapi dalam sosiologi sastra hal itu dipar dang berhomolog dengan kondisi yang ada sesungguhnya. Dapat dikatakan demikian karena, baik kehidupan nyata maupun kehidupan yang tergambar dalam karya sastra, merupakan produk dari aktivitas strukturasi yang sama. Hubungan antara keduanya memang tidak dalam determinasi langsung, melainkan dimediasi oleh pandangan dunia atau ideologi pengarang. Pandangan dunia ini berkembang sebagai hasil dari situasi sosial dan ekonomik tertentu yang dihadapi oleh pengarang (Goldmann, 1977: 17-18).
* Tulisan utuh selanjutnya silahkan klik DI SINI
Discussion about this post