Para penggerak Muhammadiyah-‘Aisyiyah selalu “banyak akal” untuk menggalang dana (fundraising) demi terwujudnya tujuan organisasi dan keberlanjutan amal usaha Muhammadiyah-’Aisyiyah. Tentu setiap zaman memiliki tantangan tersendiri. Pada masa sebelum kemerdekaan, tepatnya tahun 1941 atau pada masa kepemimpinan Mas Mansur, Muhammadiyah menorehkan sejarah dengan me-lobby Pemerintah Hindia-Belanda untuk menerbitkan franco ‘amal.
Pada mulanya Pemerintah Hindia-Belanda mengeluarkan prangko amal yang keuntungan penjualannya diserahkan kepada organisasi misi Kristen (Zara, 2016 dan 2020, bdk. Apriliyanti, 2014). Karena itu, Muhammadiyah bersama Persis, PII, PSII, dan lain-lain meminta pemerintah memperbolehkan mengeluarkan prangko amal pula bagi organisasi Islam (Fuad, 2011). Berkat kepemimpinan Mas Mansur yang mengorganisasi Komite Prangko Amal dan negosiasi yang sangat baik kepada Gubernur Jenderal Hindia-Belanda di Bogor, Gubernur pun mengizinkan penerbitan prangko amal versi Muhammadiyah, bahkan memberi Komite Prangko Amal Muhammadiyah sokongan senilai 500 gulden (Zara, 2016 dan 2020).
Prangko amal pertama bagi kalangan umat muslim ini (Apriliyanti, 2014) merupakan ide yang sangat cerdas dari Muhammadiyah pada zamannya. Konsep yang diusung dalam prangko Moehammadijah itu ialah PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem) yang terdiri atas lima desain. Prangko dengan harga 2, 3½, 7½, 10, dan 15 cent itu dijual seharga 3, 5, 10, 12½, dan 20 cent. Keseluruhannya menggambarkan implementasi gerakan al-Mȃ’un yang menjadi karakteristik Muhammadiyah sejak awal berdiri, terutama tenaga kesehatan yang merawat orang sakit.
* Tulisan utuh selanjutnya dapat dibaca di https://suaraaisyiyah.id/fundraising-melalui-franco-amal-ala-muhammadiyah/
Discussion about this post