Tidak dapat dimungkiri bahwa semua yang dilakukan oleh ‘Aisyiyah dan Muhammadiyah selalu berlandaskan teologi keislaman. Tidak ada satu pun program pada gerakan ini yang tidak berlandaskan ajaran-ajaran Islam. Semua yang dilakukan selalu merupakan bentuk pemahaman terhadap al-Qur’an dan sunnah yang dipegang teguh dan mengakar.
Teologi Islam yang diyakini itu bersifat ṣalihun li kulli zaman wa makan, yakni sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi zaman, kapan pun dan di mana pun. Karena itu, ‘Aisyiyah dan Muhammadiyah selalu berusaha untuk tidak memahami landasan teologi Islam tersebut dengan kejumudan yang beku dan statis.
Spirit Islam berkemajuan (din al-hadarah atau wasaṭiyah) menjadi ciri khas dalam memahami ajaran-ajaran itu. Dengan demikian, ‘Aisyiyah selalu berada dalam dua perspektif, antara bertahan dengan landasan teologi yang mengakar dan berlari dalam melintasi zaman serta menghadapi tantangannya.
Beragam dan luasnya upaya ‘Aisyiyah di seluruh Indonesia, bahkan di luar negeri, senantiasa berada dalam spirit jihad. Para penggerak ‘Aisyiyah di perkotaan maupun pelosok desa acapkali mengembuskan semangat untuk beramal dan terus beramal dengan Q.s. al-Ankabut ayat 69. Namun, dalam ber-jihad itu penggerak ‘Aisyiyah juga selalu menyampaikan untuk berpegang pada prinsip rahmatan lil-‘alamin sebagaimana dalam Q.s. al-Anbiya’: 107.
Merujuk pada Khutbah Ifititah Ketua Umum Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah pada Muktamar ‘Aisyiyah ke-48 di Surakarta lalu, terdapat sejumlah hal yang menjadi tantangan ‘Aisyiyah. Pertama, tantangan keumatan, di antaranya adanya pandangan keagamaan yang literal dengan cara dakwah yang keras, lugas, kurang menghargai pandangan lain sehingga mendorong konflik dengan sesama muslim.
Kedua, tantangan kemasyarakatan, di antaranya kehidupan manusia yang cenderung mementingkan diri sendiri, materialistis, instan, egois, dan lemah dalam kebersamaan. Selain itu, perubahan sosial juga terjadi pada penggunaan media sosial masyarakat yang kurang menunjukkan akhlak utama sehingga memunculkan ujaran kebencian serta berita-berita yang hoaks.
Ketiga, tantangan kebangsaan, di antaranya problem kemiskinan, ketidakadilan sosial, korupsi, penegakan hukum yang lemah, kekerasan, konflik sosial, permasalahan keluarga, ancaman persatuan bangsa, eksploitasi, rusaknya sumber daya alam, luruhnya integritas, dan sebagainya. Tantangan kebangsaan ini juga meliputi masalah-masalah politik, seperti politik uang, etika dan kebersamaan, dan sebagainya.
Keempat, tantangan kemanusiaan universal, di antaranya meluasnya konflik yang berdampak pada ekonomi global serta kehidupan nasional bangsa Indonesia. ‘Aisyiyah tentu berharap terciptanya perdamaian bangsa dan perdamaian dunia.
Mau tidak mau, dalam menghadapi tantangan itu, ‘Aisyiyah harus bertahan dalam sistem keorganisasian yang kuat selain bertahan untuk berpegang teguh pada landasan teologis yang telah disebutkan di atas. ‘Aisyiyah harus bertahan dan memperkuat konsolidasi ideologi, konsolidasi gerakan, konsolidasi kepemimpinan, konsolidasi organisasi, manajemen organisasi, dan penguatan amal usaha.
Untuk berlari menyesuaikan dengan problem terkini masyarakat global, ‘Aisyiyah harus bergerak dalam bidang ketahanan keluarga, perkaderan, tabligh dan pemikiran keagamaan, pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial, ekonomi dan ketenagakerjaan, pendidikan politik, hukum dan hak asasi manusia, pelestarian lingkungan, serta kebudayaan.
Bagian terakhir pada paragraf di atas menjadi hal yang sangat penting, yaitu kebudayaan. Pengaruh kebudayaan merupakan faktor eksternal yang sangat perlu menjadi perhatian ‘Aisyiyah selain faktor eksternal lain, seperti perubahan alam, peperangan, dan bencana. Saat ini hubungan sosial masyarakat di mana pun selalu mempertemukan kebudayaan satu dengan kebudayaan lainnya.
‘Aisyiyah perlu mengamati proses sosial itu apakah berjalan dengan asosiatif ataukah disosiatif. ‘Aisyiyah juga perlu memahami apakah perubahan masyarakat akibat bertemunya kebudayaan satu dengan kebudayaan lain itu bersifat akulturasi ataupun asimilasi. ‘Aisyiyah harus tampil berjihad pula di bidang budaya dengan membentengi pengaruh budaya lain yang akan menggerus identitas bangsa Indonesia, identitas muslim dan Muslimah, serta identitas manusia yang berkemajuan.
Sekali lagi, dalam era global ini ‘Aisyiyah harus memiliki dua kemampuan sekaligus, yaitu kemampuan bertahan dan kemampuan berlari. Ini adalah bekal untuk mencapai keselamatan (Islam) yang sejati, kapan dan di mana pun. [12/22]
* Sumber Tulisan: suaraaisyiyah.id
Discussion about this post