Pada 57 tahun yang lalu, tepatnya tahun 1965, Siti Baroroh Baried memberikan orasi mengenai dakwah kebudayaan pada Konferensi Islam Asia-Afrika (KIAA). Beliau menyebutkan bahwa dakwah kebudayaan adalah sebuah tugas raksasa. Mengapa tugas raksasa? Karena kebudayaan meliputi berbagai aspek kehidupan manusia, tetapi umat Islam Indonesia belum benar-benar mengarahkan perhatiannya dalam bidang ini.
Dakwah kebudayaan adalah tugas raksasa karena menurutnya ini memerlukan konsep yang jelas dan upaya keras dalam sebuah “wadah” yang serius atau teroganisasi. “Wadah” ini harus menampung seluruh potensi umat Islam yang mempunyai keahlian dan minat dalam kebudayaan.
Bagi Baroroh ada tiga modal besar untuk mengembangkan dakwah kebudayaan, yaitu (i) kemampuan memahami teks utama keislaman, di antaranya dengan memahami bahasa al-Qur’an dan hadis; (ii) kemampuan komunikasi dalam menyampaikan prinsip Islam kepada masyarakat, di antaranya sebagai diseminasi kebudayaan Islam serta saling tukar informasi dengan muslim di seluruh dunia; dan (iii) kemampuan mendesain dakwah kebudayaan sesuai dengan kebutuhan zaman.
Dalam logika Baroroh, ajaran Islam perlu digali “apinya”. Dengan menggali “api”-nya Islam, orang akan memahami bahwa Islam adalah agama yang membentuk akhlak yang luhur, Islam adalah agama revousioner, Islam itu dinamis, bukan statis, dan sebagainya.
Kepribadian Indonesia yang sesuai dengan ajaran Islam menurutnya dapat disesuaikan. Karena pentingnya bagian ini, Baroroh sampai menegaskan dua kali dalam orasinya bahwa kita perlu mengembangkan seni drama, seni sastra, seni suara, seni lukis, seni pahat, seni tari, dan sebagainya. Disebutnya dengan tegas bahwa ketoprak, wayang orang, wayang kulit, dagelan, panggung terbuka, lagu, dongeng, dan lain-lain dapat digunakan sebagai media dakwah Islam.
Tugas raksasa itu adalah mengolah materi atau isi dalam seni drama, seni suara, seni lukis, dan sebagainya. Seni membaca al-Qur’an, terjemah al-Qur’an dengan syair-syair yang indah, model-model pahatan dan lukisan yang mengena maknanya adalah hal-hal yang disebut Baroroh sebagai contoh.
Tugas raksasa yang dilakukan oleh “wadah” ini, menurutnya harus bekerja dengan perencanaan jenius yang ia sebut sebagai planmatig. “Wadah” ini bekerja dengan skala prioritas yang jelas, mempersiapkan biaya, perlengkapan, tenaga, dan sebagainya. Jika telah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, akan banyak pihak yang men-support. “Wadah” ini kelak akan mencerminkan kesatuan umat Islam Indonesia.
Meskipun orasi Siti Baroroh Baried tersebut sudah sangat lampau, namun dapat kita jadikan refleksi. Sejauh mana kita telah mengonsep dakwah kebudayaan? Apakah kita telah mempunyai “wadah” yang serius serta terorganisasi dalam menyusun planmatig dan strategi kebudayaan? Apakah kita sudah mengawal tiga modal dakwah kebudayaan yang disebutkan Baroroh tersebut? Tentu masih banyak pertanyaan lainnya.
Sementara, dunia ini terus berputar. Masyarakat berlari dalam menjalani perubahan kebudayaan yang sangat cepat dan dinamis. Dengan globalisasi dan kecanggihan teknologi informasi, masyarakat menjadi bersinggungan dengan banyak budaya. Identitas dan ideologi orang “zaman now” menjadi suatu mozaik dan bentuk baru akibat persinggungan dengan budaya lain itu.
“Api”-nya Islam mungkin bagi sebagian orang masih dipahami dan dijunjung tinggi sebagai jalan hidup (way of life) sekaligus gaya hidup (lifestyle). Namun, bagi yang tidak kuat menanggung derasnya perubahan, keislaman mereka hanya sebagai identitas yang tampak dari luar, bahkan mungkin hanya sebagai pengalaman masa lalu.
Satu dari tiga modal yang disebut Baroroh di atas, yang paling penting saat ini adalah poin ketiga, yaitu kemampuan kita mendesain dakwah kebudayaan sesuai dengan tuntutan zaman. Ini sangat relevan karena jika kita berdakwah dengan cara yang itu dan itu saja, maka tampilan Islam menjadi tidak menarik bagi generasi zaman sekarang dan akan datang.
Bukankah Ali bin Abi Thalib telah mengingatkan agar kita mendidik generasi kita sesuai dengan zaman mereka? Terminologi Islam juga mengajarkan untuk selalu mengikuti zaman. Kita termasuk orang yang beruntung jika lebih daripada hari kemarin; kita termasuk orang yang merugi jika sama saja; dan kita termasuk orang yang celaka jika lebih buruk. Ini semua agar kita selalu dalam keadaan selamat (ber-Islam), tidak “gagap” dalam menghadapi perubahan.
Mari kita menengok kembali cara kita mengonsep dan menjalankan dakwah kebudayaan kita. Mari kita bertanya kembali mengenai efektivitas dakwah kebudayaan yang selama ini kita jalankan. Mari kita terus belajar untuk berjalan dalam tiga perspektif, yaitu masa lalu (ajaran-ajaran Islam yang hadir pada masa terdahulu), masa sekarang (ajaran Islam yang kita pahami dan jalankan sekarang, serta masa depan (ajaran Islam yang kita persiapkan untuk generasi setelah kita).
Para ahli teori pemahaman acapkali mengingatkan, masa lalu adalah memori, masa sekarang adalah persepsi, masa yang akan datang adalah ekspektasi. Maka, tidak ada alasan bagi kita merumuskan dakwah kebudayaan sesuai dengan persepsi generasi sekarang dan ekspektasi generasi yang akan datang. Ini tugas raksasa, tetapi kita harus bisa. [1/23]
* Sumber Tulisan: suaraaisyiyah.id
Discussion about this post