Kader adalah penentu masa depan persyarikatan. Jika diibaratkan sebuah lukisan, kader adalah bingkai. Lukisan yang tidak ada bingkainya akan cepat rusak dan kemudian akan disingkirkan. Sebaliknya, jika sebuah lukisan disertai dengan bingkai, maka ia akan menjadi lebih indah dan terjaga. Pernyataan itu disampaikan Adib Sofia dalam acara Bedah Editorial dengan tema “Perkaderan Merespons Perubahan” yang diselenggarakan secara daring oleh Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah pada Selasa (28/9).
Dewan Redaksi Majalah Suara ‘Aisyiyah itu mengatakan bahwa keberadaan kader bagi Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah sangat penting, karena kader adalah penerus perjuangan Muhammadiyah-‘Aisyiyah ke depan. “Maka dari itu, perkaderan ini harus kita jaga untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan kita untuk mewujudkan masyarakat yang adil, yang sebenar-benarnya. Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur sampai kapan pun,” ucap Adib.
Perkaderan di Era Digital
Adib Sofia menjelaskan bahwa generasi saat ini adalah orang-orang yang berdigital native. Artinya, sejak lahir sudah mengenal dunia digital. Keadaan ini merupakan sebuah bentuk perubahan. Perubahan, kata Adib, merupakan sunatullah. Sementara itu, kebermanfaatan organisasi erat kaitannya dengan kebutuhan zaman. Sehingga mau tidak mau proses perkaderan harus disesuaikan dengan konteks perubahan zaman tersebut.
Di Muhammadiyah–‘Aisyiyah, Adib menyebutkan, perkaderan dilakukan melalui enam pilar, yakni: perkaderan pimpinan, perkaderan ortom (organisasi otonom), perkaderan amal usaha, perkaderan profesi, perkaderan komunitas, dan perkaderan keluarga. Menurutnya, perkaderan yang berasal dari keluarga adalah yang paling efektif, sebab keluarga adalah wadah kaderisasi sejak dini.
Saat ini, ia mengatakan, ada banyak tantangan dalam perkederan Muhammadiyah-‘Aisyiyah, di antaranya adalah: pertama, perkembangan teknologi digital yang mengharuskan para kader melek terhadap teknologi digital. Kemampuan digital, menurutnya, mutlak harus dimiliki dan dikuasai oleh kader Muhammadiyah-‘Aisyiyah. Untuk itu, para pimpinan harus meminimalisir kesenjangan antara kader yang tinggal di pedesaan dan di perkotaan.
Kedua, perubahan sosial-budaya masyarakat yang mengharuskan kader-kader memiliki kemampuan analisis terhadap berbagai problem sosial-kemasyarakatan, sehingga dakwah ‘Aisyiyah menjadi sangat terasa. Mau tidak mau, jelasnya, kita dituntut harus menjadi orang yang berilmu supaya mempunyai bekal analisis.
Ketiga, pertarungan narasi berbagai ideologi yang menuntut pemahaman yang mendalam terhadap nilai-nilai Islam Berkemajuan. Melalui media maya, telah banyak beredar berbagai pemahaman dari berbagai kalangan. Narasi dan retorika dakwah Muhammadiyah-‘Aisyiyah mungkin dianggap belum menarik bagi mereka, sehingga kade Muhammadiyah-‘Aisyiyah khususnya memilih narasi dari pandangan lain.
Dari berbagai tantangan itu, Adib menjelaskan, “ini adalah tantangan perkederan di era digital. Tugas kita adalah merangkul dan membuat mereka agar kritis, kreatif, komunikatif, dan dapat berkolaborasi untuk melangsungkan eksistensi di Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah,” ujar Adib. (rizka)
Sumber Tulisan: suaraaisyiyah.id
Discussion about this post